PENGERTIAN GHOSAB ( غصب)
PENJELASAN GHOSAB
GHASAB. Mungkin kebanyakan orang yang berada di luar lingkungan pondok
pesantren merasa asing dengan kalimat ini, namun bagi kita yang alhamdulilah di
takdirkan Allah menjadi penuntut ilmu (santri) tentu istilah Ghasab sudah tidak
asing lagi. Beberapa dari kita tentu pernah di Ghasab maupun meng
Ghasab benda milik orang lain. Berhubung pada pada tanggal 4 Oktober ketika
pembacaan Asmaul Husna Ustadz Luthfi ada mengungkit masalah Ghasab maka atas
inisiatif tim Redaksi dirubrik bayan kali ini kami akan mengupas tuntas tentang
pengertian Ghasab dan hal-hal lain yang memiliki keterkaitan dengan Ghasab.
1.pengertian Ghasab.
Ghasab secara Bahasa dapat di
artikan mengambil milik orang lain secara terang-terangan, memaksa, mengambil
hak milik orang lain secara zhalim dan tanpa izin dari pemilik benda tersebut,
didalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan pengertian Ghasab
sebagai mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan
sendiri.
Ghasab tidak terbatas pada perkara
yang berupa harta benda, tetapi juga hal - hal yang berupa kemanfaatan, seperti
: menyuruh berdiri orang yang sedang duduk di masjid, duduk diatas alas
(karpet, permadani) orang lain sekalipun tidak digeser ketempat lain , mengusir
orang dari rumahnya sendiri sekalipun tidak dimasukinya dan lain.
Para ulama mendifinisikan Ghasab sebagai
berikut:
1. Mazhab
Hanafi : mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang
tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
2. Ulama Mazhab
Maliki : mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti
merampok)
3. Ulama Mazhab
Syafi’i dan Hanbali : penguasaan terhadap harta orang lain secara
sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
3.hukum Ghasab
Berdasarkan sejumlah ayat, hadis, dan
pendapat ulama’, ghasab itu hukumnya haram. Dalam kitab Kifayatu
al-Akhyar, pekerjaan ghasab pada salah satu dosa besar. Adapun
firman Allah Swt. yang menjadi rujukan hukum ghasab ini adalah Surat
Al-Baqarah [2]: 188,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.Imam At-Thabari dalam kitabnya (Jami’ul Bayan Fi tafsir Al-Qur’an Lith-thobari) menjelaskan bahwa maksud kata memakan dengan batil dari ayat tersebut adalah dengan cara memakan yang tidak diperbolehkan oleh Allah Swt.
Jadi, dapat ditarik simpulan bahwa ghasab (menggunakan milik orang lain tanpa izin) berdasarkan ayat tersebut hukumnya haram dan sangat dilarang oleh Allah. Entah ghasab pakaian, sandal, bantal, gayung, payung, dan barang-barang yang lain, hukumnya sama-sama tidak boleh. Bahkan berdasarkan ayat tersebut ketika dilihat dari kaca mata ushul fiqh maka ada 2 (dua) hal yang dapat kita simpulkan. Pertama, larangan (nahyi) tersebut menunjukkan keharaman dari pekerjaan ghasab. Kedua, larangan tersebut mewajibkan kita untuk menjahui perkara ghasab.
Lantas, bagaimana jika kita sudah terlanjur melakukan ghasab atau sudah terbiasa dengannya? Maka, jawabannya segera bertobat dan berhenti dari kebiasaan ghasab. Semua barang atau benda yang pernah kita ghasab harus dikembalikan dan meminta maaf pada pemiliknya. Namun jika barang yang dighasab telah mengalami kerusakan sebab pemakaian kita, maka hukumnya wajib mengganti sesuai kondisi barang saat dighasab. Ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (Hal 227 Juz 14 versi Maktabah Syamilah),
لا يأخذ أحدكم متاع أخيه
لاعبا أو جادا، فإذا أخذ أحدكم عصا أخيه فليردها
Didalam kitab Fathul Qarib diterangkan:
لزمه أيضاً (أرش نقصه) إن نقص كمن غصب ثوباً فلبسه أو نقص بغير لبس (و) لزمه أيضاً (أجرة مثله) أما لو نقص المغصوب برخص سعره، فلا يضمنه الغاصب على الصحيح، وفي بعض النسخ ومن غصب مال امرىء أجبر على رده الخ،
(فإن تلف) المغصوب (ضمنه) الغاصب (بمثله إن كان له) أي المغصوب (مثل) والأصح أن المثلي ما حصره كيل أو وزن، وجاز السلم فيه كنحاس وقطن لا غالية ومعجون. وذكر المصنف ضمان المتقوم في قوله (أو) ضمنه (بقيمته إن لم يكن له مثل) بأن كان متقوماً واختلفت قيمته (أكثر ما كانت من يوم الغصب إلى يوم التلف) والعبرة في القيمة بالنقد الغالب فإن غلب نقدان وتساويا قال الرافعي: عين القاضي واحداً منهما. .
(Maksudnya)
Pengertian Ghasab
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ghasab.
Ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan.
Dan secara syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara dhalim.
Ukuran menguasai dikembalikan pada ‘urf.
Termasuk hak orang lain adalah sesuatu yang sah untuk dighasab yang berupa barang-barang selain harta seperti kulit bangkai.
Dengan bahasa “secara dhalim” mengecualikan menguasai harta orang lain dengan cara akad.
Konsekuensi Ghasab
Barang siapa mengghasab harta seseorang, maka wajib baginya untuk mengembalikan pada pemiliknya, walaupun dalam pengembalian tersebut ia harus menanggung berlipat-lipat dari harga barang tersebut.
Dan ia juga wajib mengganti rugi kekurangan barang tersebut jika memang terjadi kekurangan seperti orang yang mengghasab pakaian kemudian ia pakai, atau menjadi kurang tanpaadapemakaian.
Dan juga wajib membayar ongkos standar dari penyewaan harta yang ia ghasab.
Sedangkan seandainya nilai barang yang dighasab menjadi kurang sebab turunnya harga di pasaran, maka orang yang mengghasab tidak wajib menggantinya menurut pendapat ash shahih.
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “barang siapa mengghasab harta seseorang, maka ia dipaksa untuk mengembalikannya”.
Barang Ghasaban Yang Rusak
Jika barang yang dighasab rusak, maka orang yang mengghasab harus mengganti dengan barang sesamanya jika memang barang yang dighasab tersebut memiliki sesamanya (mitsli).
Menurut pendapat ashah sesungguhnya yang dikehendaki dengan mitsli adalah setiap barang yang diukur dengan takaran atau timbangan dan boleh untuk diakadi salam seperti perunggu dan kapas, bukan minyak ghaliyah dan minyak ma’jun.
Mushannif menjelaskan tentang ganti rugi barang yang memiliki harga di dalam perkataan beliau,
Atau orang yang mengghasab harus mengganti sesuai harga barang yang dighasab jika memang barang tersebut tidak memiliki sesamanya, dengan artian barang itu adalah barang yang memiliki harga dan berbeda-beda harganya, dengan ganti rugi harga yang tertinggi sejak hari pertama mengghasab hingga hari di mana barang tersebut rusak.
Yang dipertimbangkan dalam ukuran harga adalah mata uang yang paling terlaku.
Jika ada dua mata uang yang sama-sama terlakunya, imam ar Rafi’i berkata, maka seorang qadli harus menentukan salah satu dari keduanya. (Red Dalpa)
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ghasab.
Ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan.
Dan secara syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara dhalim.
Ukuran menguasai dikembalikan pada ‘urf.
Termasuk hak orang lain adalah sesuatu yang sah untuk dighasab yang berupa barang-barang selain harta seperti kulit bangkai.
Dengan bahasa “secara dhalim” mengecualikan menguasai harta orang lain dengan cara akad.
Konsekuensi Ghasab
Barang siapa mengghasab harta seseorang, maka wajib baginya untuk mengembalikan pada pemiliknya, walaupun dalam pengembalian tersebut ia harus menanggung berlipat-lipat dari harga barang tersebut.
Dan ia juga wajib mengganti rugi kekurangan barang tersebut jika memang terjadi kekurangan seperti orang yang mengghasab pakaian kemudian ia pakai, atau menjadi kurang tanpaadapemakaian.
Dan juga wajib membayar ongkos standar dari penyewaan harta yang ia ghasab.
Sedangkan seandainya nilai barang yang dighasab menjadi kurang sebab turunnya harga di pasaran, maka orang yang mengghasab tidak wajib menggantinya menurut pendapat ash shahih.
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “barang siapa mengghasab harta seseorang, maka ia dipaksa untuk mengembalikannya”.
Barang Ghasaban Yang Rusak
Jika barang yang dighasab rusak, maka orang yang mengghasab harus mengganti dengan barang sesamanya jika memang barang yang dighasab tersebut memiliki sesamanya (mitsli).
Menurut pendapat ashah sesungguhnya yang dikehendaki dengan mitsli adalah setiap barang yang diukur dengan takaran atau timbangan dan boleh untuk diakadi salam seperti perunggu dan kapas, bukan minyak ghaliyah dan minyak ma’jun.
Mushannif menjelaskan tentang ganti rugi barang yang memiliki harga di dalam perkataan beliau,
Atau orang yang mengghasab harus mengganti sesuai harga barang yang dighasab jika memang barang tersebut tidak memiliki sesamanya, dengan artian barang itu adalah barang yang memiliki harga dan berbeda-beda harganya, dengan ganti rugi harga yang tertinggi sejak hari pertama mengghasab hingga hari di mana barang tersebut rusak.
Yang dipertimbangkan dalam ukuran harga adalah mata uang yang paling terlaku.
Jika ada dua mata uang yang sama-sama terlakunya, imam ar Rafi’i berkata, maka seorang qadli harus menentukan salah satu dari keduanya. (Red Dalpa)
Ketika sedang browser di
intrernet tim Redaksi Dalpa menemukan sebuah cerita unik yang berhubungan
dengan Ghasab, setelah kami adobsi dan menghilangkan unsur-unsur yang mungkin
sedikit melenceng, kurang lebih ceritanya seperti dibawah ini:
Disebuah pesantren terdapat tiga
orang santri yang telah lama berdiam dipondok mereka bernama Tolib, Tahir dan
Toni. tak berselang lama Tolib, Tohir dan Toni dapat meyelesaikan studi
pendidikannya di pondok pesantren tersebut, setelah diadakan perundingan ketiga
nya pun mantap untuk melanjutkan studi di salah satu universitas berbasis
syariah yang ada disekitaran kota, dan entah ingin menghemat atau memang betah
mondok mereka minta izin kepada kiyai untuk dapat tetap berada dipondok walau
mereka sudah lulus.
Para santri
baru menganggap mereka adalah santri senior. Saking seniornya mereka, sering
mendapat kepercayaan membantu mengelola acara-acara pondok. Juga diminta para
Gus, sapaan putra kyai, untuk membantu banyak pekerjaan mereka. Sering juga
diminta tolong para ustadz untuk membantu keamanan dan ketertiban pondok
pesantren ketika mereka tidak ditempat.
Suatu hari di Jum’at pagi yang cerah.
Tiga santri kawakan itu mempunyai agenda penting: pelatihan organisasi
mahasiswa. Mereka ternyata adalah aktivis-aktivis kampus yang akan merekrut
anggota baru untuk organisasi.
Santri juga harus tampil necis dan
bersih, begitu mereka berpikir. Apalagi berkegiatan bersama dengan mahasiswa
lain yang bukan anak pondok pesantren. Jadilah mereka bertekad untuk tampil
sebaik-baiknya dengan pakaian yang juga sebisa-bisanya harus yang terbaik.
Tolib, yang mendapat jatah berbicara
di jam pertama terlihat percaya diri dengan kain sarung tenun berwarna coklat
yang dia kenakan.
“Kita harus bangga menjadi santri,
ya harus pakai sarung tapi jangan yang kumal seperti celana kamu itu,” katanya
kepada seorang kawan sambil tertawa mengejek.
Beda Tolib, beda Tohir. Santri yang
sebenarnya juga anak seorang pemuka agama dari Jawa Tengah itu datang dengan
baju koko putih berenda hitam di bagian lehernya. Tercium bau harum dan
terlihat bekas lipatan rapi khas baju yang selesai disetrika. Kontras dengan
sarung yang dipergunakan, meski bersih tapi tetap kucel tidak ada bekas
setrika.
“Santri harus bersih. Karena
kebersihan adalah sebagian daripada iman,” katanya mantap.
Toni, beda lagi. Satu dari tiga
sekawan itu juga berusaha tampil maksimal. Penampilan yang mencolok terlihat
dari sandal dan peci yang dipergunakan. Peci hitam tampak baru dan terlihat
hanya dipergunakan di momen-momen tertentu. Kaki dia yang agak kurang terawat
terlihat lebih baik dengan sandal yang tercuci bersih.
Jam demi jam terlewati. Hingga
akhirnya ada panggilan telepon dari ustad Rozaq di ponsel milik Tolib. Usai
mengangkat telepon Tolib terlihat tersenyum.
“Pak Rozaq itu apa punya ilmu
linuwih(ilmu kasfiyah, B.jawa, Red) ya? Kok bisa tahu kita pakai baju
bagus buat datang di pelatihan ini,” tanyanya kepada dua orang kawannya.
“Pak Rozaq itu juga Gus kan,
keturunan Kyai. Wajar kalau punya kelebihan karena sering tirakat(ibadah malam,
B.jawa, Red) Nggak kayak sampeyan-sampeyan,” timpal seseorang yang
mendengar obrolan tiga sekawan itu.
Setelah pulang ke pondok. Mereka
mendapati kabar yang mengagetkan. Baju koko, peci, sarung, dan sandal yang
dipersiapkan ustad Rozaq dari rumah buat mengisi khutbah salat Jum’at mendadak
raib ketika dititipkan di kamar santri.
Entah jadi apa tidak ustadz Rozaq
khutbah saat itu, karena tiga sekawan ini langsung lari meninggalkan
barang-barang yang semula di ghasab karena saking malunya. Mereka kira
perlengkapan salat itu milik santri lain. Ternyata korban mereka adalah gurunya
sendiri.
Ghasab dalam artian apapun dan
bagaimana keadaanya tetaplah haram. Banyak diantara Ikhwan yang menganggap
ketika mengghasab benda milik temannya baik itu sandal, gayung, sabun odol Dll
Ikhwan yang menjadi korban ghasab ikhlas dan tidak mempermasalahkannya baik
didunia maupun diakherat kelak.
Jika kita menilik norma tentu
angggapan seperti itu adalah sebuah kekeliruan, walaupun teman yang kita
ghasab benda miliknya ridho, itu bukan
serta merta akan melunturkan dosa ghasab yang kita perbuat. Perlu diketahui
ghasab adalah dosa yang besar sebgaimana yang dikatakan beberapa ulama :
غصب
من الكبائر
(ghasab adalah salah satu dari dosa-dosa
besar)
Dari rubrik bayan kali ini
mudah-mudahan kita semua dapat memetik hikmah pelajaran yang terkandung
didalamnya dan dapat menghindari salah satu dari pada dosa-dosa besar yaitu
ghasab.
(Redaksi Dalpa)
Refrensi:
1.فتح
القريب.رقم صحف 101.دار الكتب الاسالامية
2.www.nu.online.com
Komentar
Posting Komentar